Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd |
RIAUEXPRESS - Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala menilai, penangkapan 40 anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) Kecamatan Malin Deman, Mukomuko, Bengkulu, merupakan cermin tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria.
Penangkapan ini terjadi pada Kamis (12/05/22) dibarengi dengan dugaan pemukulan sejumlah anggota Brimob terhadap para petani. "Tidak ada itikad serius pemerintah menyelesaikan konflik agraria di tataran basis. Beberapa tempat mengalami kasus dan kekerasan yang sama," kata Satrio dalam jumpa pers bersama sejumlah lembaga sipil, Selasa (17/05/22).
"Negara terus-menerus menggunakan pendekatan keamanan daripada penyelesaian konflik, "imbuhnya.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2021, sedikitnya 207 konflik agraria dilaporkan terjadi di berbagai penjuru negeri. Dari jumlah itu, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 74 kasus. Lebih rinci lagi, 59 kasus atau 80 persen kasus tersebut terjadi di sektor perkebunan sawit dengan luas mencapai 255.006 hektare.
Di Mukomuko, konflik berawal dari kepemilikan lahan yang semula ditanami para petani dengan berbagai hasil bumi seperti jengkol, padi, kopi, dan lainnya, yang diambil oleh sebuah perusahaan bernama PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1.889 hektar pada 1995 lalu. Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditas kakao seluas 350 hektar. Setelahnya, terjadi penelantaran lahan berstatus hak guna usaha (HGU) itu sejak 1997 atau selama 25 tahun hingga sekarang.
Warga yang mengaku tidak mendapatkan ganti rugi berinisiatif untuk kembali menanami lahan telantar yang masih produktif itu.
Pada tahun 2005, lahan PT BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diambil alih oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT DDP dan PT BBS. Bermodal klaim tersebut, PT DDP melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU telantar PT BBS dengan melakukan penanaman komoditas sawit, memaksa ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.
Berkaitan dengan latar belakang sejarah ini, maka tuduhan "pencurian" yang ditetapkan kepolisian terhadap 40 petani yang ditahan tidak tepat.
"Konflik kepemilikan lahan harus diselesaikan terlebih dulu. Beberapa putusan yang telah jadi yurisprudensi, tidak boleh seseorang ditahan terkait sengketa kepemilikan," kata Satrio. "Bagaimana jika ke depan, 40 petani tersebut berhak atas pengelolaan tanah di sana, siapa yang bertanggung jawab jika mereka sudah jadi korban hari ini?" lanjutnya.
Terpisah, Humas PT DDP, Samirana, bersikeras bahwa pihak perusahaan memiliki legalitas yang jelas secara hukum di lahan tersebut. "Tidak ada sejengkalpun tanah mereka itu. Mereka cuma mengaku-ngaku saja. Kami bebaskan tanah itu secara hukum dengan musyawarah dan ganti rugi. Mereka mengaku-ngaku," kata Samirana.
Mereka mengeklaim meminta bantuan Brimob karena beberapa petugas keamanan PT DDP pernah mendapat intimidasi dan dipukuli masyarakat. https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/05/18/06010051/40-petani-di-bengkulu-ditangkap-walhi-tidak-ada-keseriusan-pemerintah.
Demikianlah ketika sistem yang diterapkan tidak mampu sepenuhnya berpihak kepada kesejahteraan masyarakat. Sistem kapitalisme yang hanya berat kepada kaum ber cuan, namun abai terhadap golongan tak ber uang. Kebebasan kepemilikan yang sangat diagungkan sistem ini menjadikan cuma para pemilik modal besar yang mampu mengakses SDA tak terkecuali bidang pertanahan.
Jadilah masyarakat yang bermodal minim hanya bisa menggarap tanah seadanya dan sebatas daya upaya yang mampu mereka kerahkan. Begitu tanah berubah status kepemilikan atas legalitas negara, walau telah ada seseorang/sekelompok masyarakat yang menghidupkan tanah tersebut terlebih dahulu, pilihan bagi mereka cuma 2, angkat kaki atau dikriminalisasi !. Jadilah konflik agraria bak lingkaran setan yang tak berkesudahan.
Bandingkan dengan cara Islam yang unik dan aplikatif dalam mengatur bidang agraria. Menurut pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi – termasuk tanah – hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 42 : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT dalam surah Al-Hadid ayat 7 : “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.”
Islam memberikan 4 (empat) solusi mendasar dalam mengatasi konflik pertanahan. Pertama : Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat). Dalam hal ini, syariah Islam mengijinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya.
Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh seseorang, menjadi milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak.” (HR al-Bukhari). “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari).
“Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Abu Dawud). Hadits-hadits ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non-Muslim, dan menjadi dalil bagi kebolehan untuk siapa saja yang menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu ijin pemerintah. Alasannya, karena perkara-perkara yang boleh memang tidak memerlukan izin pemerintah. (An-Nabhani, 1990 : 138).
Kedua : Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Rasulullah SAW.
Beliau menyatakan : “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama 3 tahun.” Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari 3 tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari 3 tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut.
Ketiga : Kebijakan negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW, sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau. (An-Nabhani, 1990 : 120). Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apa pun (pagar, tanaman, pengelolaan dan lain-lain) sebelumnya.
Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimiliki/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang – karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya – diambil alih oleh negara lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Keempat : Kebijakan subsidi negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan konflik agraria. Allah SWT sebagai pemilik tanah yang hakiki telah menurunkan seperangkat aturan yang sempurna dan terjamin keadilannya karena hanya Allah SWT yang Maha Tahu akan kebutuhan manusia ciptaan-Nya. Konflik agraria tidak perlu terjadi seandainya hukum Islam digunakan sedari awal dalam mengatur pertanahan. Konflik agraria nihil terjadi atau peluang untuk terjadi sangat kecil karena masing-masing pihak, yaitu negara, masyarakat dan individu sama-sama mengerti dimana posisinya berdasarkan hukum Islam. Masihkah phobia dengan apa-apa yang berasal dari Islam? Wallahu’alam.**
Penulis:
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd